Kamis, 09 Agustus 2012

(Book) Negeri 5 Menara

Category:Books
Genre:Biographies & Memoirs
Author:A. Fuadi

Pengalaman hidup orang lain memang menarik sekali untuk dikisahkan dan dibagikan kepada orang lain. Apalagi jika pengalaman hidup itu menyangkut pesantren. Pesantren yang masih terjebak stigma kolot dan kampungan, ternyata diungkap secara detail oleh orang yang mengalami sendiri kehidupan di dalamnya.
Alif Fikri adalah seorang remaja Minang, yang sangat sayang pada ibunya. Berbekal otak yang encer dia bercita-cita ingin sekolah ke SMU dan melanjutkan cita-citanya bersekolah di universitas negeri terkenal di negeri ini. Sang amak yang seorang guru berharap lain. Dia ingin anaknya memiliki bekal agama yang cukup dan menjadi ulama kebanggaan keluarga. Sampailah Alif di sebuah pesantren Pondok Madani. Di sana dia bertemu dengan Said, Baso, Raja, Atang, dan Dulmajid. Dengan latar belakang yang berbeda-beda, mereka pun berkawan akrab. Baso ingin menjadi hafidz Al Qur'an, Said yang pintar beladiri ingin mendirikan pesantren, Raja yang kemampuan Bahasa Inggrisnya di atas rata-rata, Atang yang berjiwa seni dan pernah mengajak Alif liburan ke Bandung, dan Dulmajid teman Alif yang jago menulis, membuat hari-hari Alif lebih berwarna. Mereka sering belajar di sebuah menara, sehingga teman-teman menjuluki mereka Sahibul Menara.
Di pesantren yang penuh dengan disiplin itu mereka belajar untuk menaati peraturan yang cukup ketat, dilarang berbahasa Indonesia hanya boleh Arab dan Inggris, dan jumlah jam belajar yang cukup panjang dibandingkan dengan sekolah umum.
Semangat Man Jadda wa Jadda (siapa yang bersungguh-sungguh dia akan berhasil) melecut jiwa-jiwa muda ini untuk tidak takut bermimpi dan kelak berusaha mewujudkannya.
"Orang Sukses adalah orang-orang yang melebihkan usahanya di atas-rata-rata orang lain", slogan itu pula yang disampaikan oleh para guru mereka untuk menyemangati para santri ini. Untuk menempuh ujian yang terdiri dari lisan dan tulisan dan dengan soal-soal yang tidak berbahasa Indonesia, santri PM bekerja ekstra keras untuk berhasil.

Review:
Novel ini sungguh enak dibaca. Bahasanya mengalir lancar. Banyak detil pesantren yang membuat kita serasa belajar di tempat itu. Apalagi ketika mereka bicara soal sambal kantin yang bikin lidah meneteskan air liur. Kalau kita membaca novel ini, nyatalah bahwa sekolah di pesantren itu tidak seperti anggapan kebanyakan orang. Bahkan bisa dikatakan mereka lebih maju karena memiliki pengjaran bilingual yang cukup efektif. Selain itu mereka sudah dipersiapkan untuk tampil di depan umum dan mempelajari public speaking. Bandingkan dengan lulusan SMU saat ini.
Bahasanya yang cukup ringkas dan mengena, disebabkan sang penulis adalah seorang wartawan. Sayangnya, tidak diungkap sisi negatif dari pesantren ini misalnya. Kalau diungkap pastilah lebih menarik.
Jadi, jangan takut bermimpi, kawan. Man Jadda wa Jadda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar